Rabu, 05 Juni 2013

‘AMM DAN KHOS SERTA PERMASALAHANNYA

PEMBAHASAN

A. Pengertian ‘Amm
a. Menurut Bahasa (Etimologi)
‘Amm menurut bahasa adalah : شُمُوْلُ أَمْرٍ لِمُتَعَدِّدٍ artinya : Mencakup sesuatu yang berbilang-bilang (tidak terbatas).

b. Menurut Istilah (Terminologi)

Sedangkan ‘Amm menurut istilah adalah :

اللَّفْظُ الْمُسْتَغْرِقُ لِجَمِيْعِ مَا يَصْلُحُ لَهُ بِحَسَبِ وَضْعٍ وَاحِدٍ دَفْعَةً.

Artinya : Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu kata sekaligus. Contohnya kata الرِّجَالُ yang berarti kaum laki-laki. Maka semua laki-laki di dunia ini masuk dalam kata الرِّجَالُ . Sebagai contoh firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat: 34 yang menerangkan tentang kedudukan kaum laki-laki atas kaum perempuan:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).” (Q.S.Annisa: 34)

Yang dimaksud laki-laki di sini bukan hanya laki-laki Arab atau laki-laki yang beragama islam saja, tapi semua laki-laki yang ada di muka bumi ini.

c. Menurut para ulama
Para ulama Ushul Fiqh memberikan definisi/pengertian ‘Amm yang berbeda-beda, akan tetapi pada hakekatnya definisi tersebut mempunya pengertian yang sama. Para ulama itu antara lain sebagai berikut:

1) Menurut Ulama Hanafiyah:
كُلُّ لَفْظٍ يَنْتَظِمُ جَمْعًا سَوَاءٌ أَكَانَ بِاللَّفْظِ أَوْ بِالْمَعْنَى.

“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna.”

2) Menurut ulama Syafi’iyah, diantaranya Al-Ghazali:

اللَّفْظُ الْوَاحِدُ الدَّالُ مِنْ جِهَةٍ وَاحِدَةٍ عَلَى شَيْئَيْنِ فَصَاعِدًا.

“Satu lafazh yang dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.”

3) Menurut Al-Bazdawi:
 اللَّفْظُ الْمُسْتَغْرِقُ جَمِيْعَ مَا يَصْلُحُ لَهُ بِوَضْعٍ وَاحِدٍ.

“Lafazh yang mencangkup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu kata.”

B
Pengertian Khash
Para ulama Ushul berbeda pendapat dalam memberikan definisi khash. Namun, pada hakekatnya definisi tersebut mempunyai pengertian yang sama. Definisi yang dapat dikemukakan di sini antara lain:
هو اللَّفْظُ الْمَوْضُوْعُ لِمَعْنَى وَاحِدٍ مَعْلُوْمٍ عَلَى اْلاِنْفِرَادِ.

“Suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui dan manunggal.”
Sedangkan menurut Al-Bazdawi, definisi Khash adalah:

كُلّ ُلَفْظٍ وُضِعَ لِمَعْنَى وَاحِدٍ عَلَى اْلاِنْفِرَادِ وَانْقِطَاعِ اْلمُشَارَكَةِ
“Setiap lafazh yang dipaksakan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).”
Dengan definisi di atas, ia akan mengeluarkan lafazh mutlaq dan musytarak dari bagian lafazh khash, dan bukan pula bagian dari lafazh ‘am. Pendapat ini dipegang pula oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Cara penunjukan lafazh atas satu arti ini bisa dalam berbagai bentuk, yaitu bentuk genius, seperti lafazh insanun dipasangkan pada hewan yang berpikir, atau berbentuk spesies (nau’un), seperti kata laki-laki dan wanita, atau berbentuk individual yang berbeda-beda tetapi terbatas, seperti bilangan angka-angka (3, 5, 100, dan seterusnya).
B. Pembahasan ‘Amm
a. Dilalah lafazh ‘Amm
Para ulama sepakat bahwa lafazh ‘amm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah. Mereka pun sepakat bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat di sini ialah lafazh ‘amm yang muthlaq tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya takhsis, atau tetap berlaku umum mencakup satuan-satuannya.
Menurut Hanafiah dilalah ‘amm itu qath’i, yang dimaksud qath’i menurut Hanafiyah ialah:
لاَ يَحْتَمِلُ اِحْتِمَالاً نَاشِئًا عَنْ دَلِيْلٍ.
“Tidak mencakup suatu kandungan yang menimbulkan suatu dalil.”
Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan takhsis sama sekali. Oleh karena itu, untuk menetapkan ke-qathi-an lafazh ‘amm, pada mulanya tidak boleh di-takhsis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis, maka dilalah-nya zhanni.
Mereka beralasan, sesungguhnya suatu lafazh apabila dipasangkan (di-wadhakan-kan) pada suatu makna, maka makna itu berketetapan yang pasti, sampai ada dalil yang mengubahnya, lebih tegas lagi mereka mengatakan:

اِنَّ لَفْظَ اْلعَامِ مَوْضُوْعٌ حَقِيْقَةً لاِسْتِغْرَاقِ جَمِيْعِ مَا يَصْدُقُ عَلَيْهِ مَعْنَاهُ مِنَ اْلأَفْرَادِ وَاللَّفْظِ حِيْنَ اِطْلاَقِهِ يَدُلُّ عَلىَ مَعْنَاهُ الْحَقِيْقِيِّ قَطْعًا, فَالْعَامُ اْلمُطْلَقُ عَنْ قَرِيْنَةٍ تَخَصِّصُهُ يَدُلُّ عَلىَ اْلعُمُوْمِ قَطْعًا وَلاَ يَنْصَرِفُ عَنْ مَعْنَاهُ اْلحَقِيْقِيُّ اِلاَّ بِدَلِيْلٍ.
“Sesungguhnya lafazh ‘amm merupakan suatu hakikat, karena kosong dari segala yang menunjukan satu (makna khusus). Dan suatu lafazh, jika dalam keadaan mutlak. Begitu pula lafazh ‘amm yang mutlak dari suatu indikasi tentang kekhususannya menunjukkan pada makna umum, dan tidaklah berubah dari maknanya yang hakiki, kecuali dengan dalil.”
Menurut Jumhur Ulama, (Maliki, Syafi’iyyah, dan Hanabilah), dilalah ‘amm adalah zhanni. Mereka beralasan, dilalah ‘amm itu termasuk bagian dilalah zahir, yang mempunyai kemungkinan di-takhsis. Dan kemungkinan ini pada lafazh ‘amm banyak sekali. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan menyatakan bahwa dilalah-nya qath’i. sehubungan dengan hal itu, Ibnu Abbas berkata:

لَيْسَ فِى اْلقُرْآنِ عَامٌ اِلاَّ وَخُصِّصَ اِلاَّ قَوْلُهُ تَعَالىَ : وَالله ُبِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٍ
“Dalam Al-Qur’an semua lafazh umum itu ada takhsisnya, kecuali firman Allah SWT., “Dan Hanya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.”
Oleh karena itu, mereka mengeluarkan suatu kaidah yang berbunyi:

مَا مِنْ عَامٍ اِلاَّ وَقَدْ خُصِّصَ.

“Tidaklah ada (lafazh) yang umum keculi sudah ditakhsis.”

Ulama Hanafiyah membantah alasan Jumhur, “Kemungkinan itu tidak dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari ucapan pembicara (mutakallimin), bukan dari dalil.”
Dari kedua sikap ulama tersebut, timbul masalah lain yang menjadi prinsip bagi mereka masing-masing. Masalah ini mempunyai dampak yang sangat besar pada perbedaan pendapat di antara mereka dalam beberapa masalah, yaitu antara lain:
a.        Apakah boleh lafazh ‘amm yang qath’I tersebut di-takhsis oleh dalil zhanni?
b. Apabila ada suatu nash yang menggunakan lafazh ‘amm di suatu tempat dan di tempat lain menggunakan lafazh khash, yang satu sama lainnya saling bertentangan. Apakah hal ini bisa dikatakan sebagai ta’arrud (saling bertentangan)?
b.        Pada masalah pertama, menurut Asy-Syafi’iah dan Ahmad, apabila bertentangan antara lafazh khash yang terdapat pada khabar ahad dengan lafazh ‘amm Al-Qur’an, maka khabar ahad itu dapat men-takhsis lafazh ‘Amm Al-Qur’an. Sekalipun lafazh ‘amm Al-Qur’an itu qath’i subut-nya, dilalah-nya zhanni. Sebaliknya, khash khabar ahad sungguhpun zhanni subut-nya, tetapi qath’i dilalah-nya. Menurut pendapat ini, As-Sunah dipandang sebagai penjelasan terhadap Al-Qur’an, walaupun khabar ahad.
Menurut Hanafiyah khabar ahad tidak dapat men-takhsis Al-Qur’an kecuali lafazh ‘amm Al-Qur’an itu sebelumnya telah terkena taksis. Mereka memandang bahwa dilalah ‘amm itu qath’i, seperti yang telah diuraikan di muka, dan takhsis bukanlah merupakan suatu penjelasan, melainkan pembatasan pemakaian sebagian satuan lafazh ‘amm. Mereka menetapkan bahwa pada lafazh ‘amm itu, kehendak makna umumnya jelas, tegas dan tidak memerlukan penjelasan. Oleh sebab itu, Hanafiyah tidak mewajibkan tertib dalam berwudhu, karena ayat mengenai wudhu, yaitu surat Al-Maidah ayat 6 sudah cukup jelas dan tegas tidak memerintahkan tertibnya berwudhu. Sedangkan Jumhur ulama mewajibkan tertib dalam berwudhu karena berdasar hadis yang berbunyi:

لاَ يَقْبَلُ الله ُصَلاَةَ امْرِئٍ حَتىَّ يَضَعَ الطَّهُوْرَ مَوَاضِعَهُ فَلْيَغْسِلْ وَجْهَهُ ثُمَّ يَدَيْهِ.

“Allah tidak menerima shalat seseorang sehingga ia bersuci sesuai tempatnya (tertib pelaksanaannya), maka hendaklah ia membasuh wajahnya kemudian dua tangannya.”
Hadis ini menunjukkan keharusan tertib dalam berwudhu. Hanafiyah memandang tertib itu hanya sunah mu’akkadah saja (Abu Zahrah: 159) Lain halnya Imam Malik, sungguhpun memandang bahwa lafazh ‘amm Al-Qur’an adalah zhanni, ia tidak selamanya menjadikan khabar Ahad dapat men-takhsis lafazh ‘amm Al-Qur’an. Ia kadang-kadang berpegang pada lafazh ‘amm Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad, namun kadang-kadang men-takhsis lafazh ‘amm Al-Qur’an dengan khabar ahad.
Misalnya firman Allah SWT.:
وَاَحَلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَالِكَ.
“Dan Allah menghalalkan (menikah) selain itu (yang telah disebutkan).”
Ditakhsis dengan hadis:

لاَ تُنْكَحُ اْلمَرْأَةُ عَلىَ عَمَّتِهَا وَلاَ خَالَتِهَا.
“Wanita yang dilarang dinikahi adalah bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu.”
Menurut Imam Malik, khabar ahad yang dapat men-takhsis lafazh ‘amm Al-Qur’an ialah khabar ahad yang didukung oleh perbuatan penduduk Madinah atau dengan qiyas.
Diantara masalah furu’ yang diperselisihkan akibat perbedaan prinsip di atas ialah halal tidaknya memakan binatang hasil sembelihan tanpa memakai bismillah.
Menurut Hanafiyah sembelihan tanpa disertai dengna ucapan bismillah tidak halal dimakan, mereka berpegang pada ayat:
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.”
Mereka tidak mau men-takhsis-nya dengah hadis Rasul yang berbunyi:
اْلمُسْلِمُ يَذْبَحُ عَلىَ اسْمِ ا للهِ سُمِّيَ اَوْ لَمْ يُسَمَّ. ( رواه ابوداود )
“Seorang muslim menyembelih dengan menyebut bismillah, sebutlah (ucapkanlah bismillah) atau tidak.” (H.R. Abu Dawud)
Sebab hadis ini zhanni wurudnya sekalipun qath’i dilalahnya.
Adapun maslah yang kedua, yaitu: ta’arudul al-‘am wa al-khash (pertentangan antara ‘amm dan khash). Menurut Hanafiyah, apabila lafazh ‘amm dan khash itu berbarengan waktu turunnya, maka lafazh khash dapat mentakhsis lafazh ‘amm. Dan apabila berbeda waktu, maka berlaku konsep nasakh dan mansukh.
Menurut Jumhur, hal tersebut tidak bisa dikatakan ta’arud, sebab fungsi lafazh khash di sini sebagai penjelasan terhadap ‘amm, seperti nisab zakat hasil bumi. Menurut Jumhur ulama, nisab zakat hasil bumi adalah lima ausaq, berdasarkan atas hadis:
لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ اَوْسُقٍ صَدَقَةٌ. ( رواه البخارى ومسلم )
“Tidak ada zakat bagi yang kurang dari lima ausaq.” (H.R.Bukhari dan Muslim)
Hadis ini dijadikan pentaksis terhadap hadis:
فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَاْلعُيُوْنَ اَوْ كَانَ عَثْرِيًّا اْلعُشُرُ فِيْمَا سَقَى بِالنُّصْخِ نِصْفُ اْلعُشْرِ.
( رواه البخارى واصحاب السنن )
“Zakat hasil bumi yang diari sumber air atau air hujan adalah 10%, sedangkan zakat yang diari irigasi adalah 5%.(H.R.Al-Bukhari dan Ashhabu Sunan)
Menurut Hanafiyah, zakat hasil bumi diwajibkan tanpa harus ada nisab, baik sedikit ataupun banyak, tetap wajib dizakati. Mereka berpegang pada hadis yang kedua yang bersifat ‘amm. Sedangkan pada hadis yang khusus, yaitu hadis pertama, mereka menakwilkannya, dan menyatakan bahwa hadis tersebut berlaku pada zakat perdagangan. Mereka berpendapat bahwa lima ausaq itu senilai dengan dua ratus dirham.
C. Pembahasan Khash
1. Hukum Lafazh Khash
Lafazh yang terdapat pada nash syara’ menunjukan satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Dengan demikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka ke-qath’-ian dilalah-nya tidak terpengaruhi.
Oleh karena itu, apabila lafazh khash dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain. Demikian juga apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faedah berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkannya dari hal itu.
Atas dasar itu, maka kata salasatin pada firman Allah SWT yang berbunyi:
Mengandung pengertian khash, yang tidak mungkin mengandung arti kurang atau lebih makna yang dikehendaki oleh lafazh itu sendiri, yaitu tiga. Oleh karena itu, dilalah makna-nya adalah qatiyah.
Demikian juga kata nisfu pada firman Allah yang berbunyi:

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ....
Mengandung arti khash yang kandungannya tidak mungkin berarti selain arti tertentu yang ditunjukan lafazh-nya itu sendiri, yaitu setengah.
Kedua contoh di atas, termasuk lafazh-lafazh khash, sehingga kehujjahannya terdapat pada arti yang diperuntukkan baginya yang bersifat qath’iyah, karena tidak ada dalil yang memalingkan dari masalah haqiqi-nya. Selain itu juga lafazh nar dalam firman Allah SWT. Yang berbunyi:

يَا نَارُكُوْنِى بَرْدًا وَسَلاَمًا...
Adalah lafazh khash yang sudah dikenal yang berarti api (an-nar) yang sebenarnya, dan mengandaikan bahwa makna yang dimaksud bukanlah makna itu, tanpa adanya dalil, maka yang demikian itu tidak berpengaruh sedikitpun terhadap ke-qath’i-an makna yang termasuk dalam lafazh tersebut.
Terhadap kemungkinan adanya takwil dalam lafazh khash, para pengikut mazhab Hanafi telah memalingkan arti lafazh khash tersebut dari maknanya yang hakiki dalam beberapa nash karena adanya qarinah yang mengharuskan pemalingan artinya yang hakiki, dan karena adanya maksud untuk memberi makna yang lain melalui maksud yang terkandung dalam dalil tersebut. Lafazh syat, dalam sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:

فِى كُلِّ أَرْبَعِيْنَ شَاةً شَاةٌ.
Merupakan lafazh khash. Para ulama Hanafiyah menakwilkannya dengan arti yang lebih umum yang mencakup arti syat itu sendiri berikut harganya.
Berdasarkan itu, maka hadis tersebut memberikan arti khusus dalam menentukan nishab yang dikenai zakat dari empat puluh kambing, yaitu satu ekor kambing, tidak kurang dan tidak lebih.
2. Perbedaan Pendapat Akibat Keqath’ian Dilalah Khash
Para ulama sepakat bahwa dilalah lafazh khash adalah qath’i. namun, mereka berbeda pendapat dalam sifat ke-qath’i-annya itu, apakah lafazh khash yang dipandang qath’i dilalah-nya itu sudah jelas dengan sendirinya, sehingga tidak mempunyai kemungkinan penjelasan lain atau perubahan makna, ataukah sekalipun lafazh khash itu qath’i dilalah-nya, tetapi kemungkinan mempunyai perubahan dan penjelasan yang lain.
Golongan Hanafiyah mengambil pendapat pertama. Mereka menyatakan,
“Sesungguhnya lafazh khash sepanjang telah memiliki arti secara tersendiri, berarti ia sudah jelas dan tegas dengan ketentuan lafazh-lafazh itu sendiri. Seandainya lafazh itu masih mempunyai kemungkinan perubahan dengan penjelasan yang lain, pasti keadaan penjelasannya itu menetapkan yang sudah tetap atau menolak yang sudah tertolak.
Sedangkan keduanya ini tidak bisa diterima.
Dari sikapnya ini dapat ditarik kesimpulan pokok, yaitu:
a. Mereka menetapkan bahwa lafazh khash itu tidak memerlukan penjelasan lain, sehingga dalam mengambil hukum dari satu dilalah khash, mereka tidak mengambil hadis-hadis yang berhubungan dengan penjelasannya. Karena menurut mereka, dilalah khasas itu tidak memerlukan penjelasan lain.
b. Karena mereka menyatakan bahwa lafazh khash Al-Qur’an itu qath’i dilalah-nya dan tidak memerlukan penjelasan (bayan), maka setiap perubahan hukum dengan nash yang lain dipandang sebagai penghapusan hukum, bukan penjelasan. Oleh sebab itu, nasikh (penghapus hukum) harus sama kekuatan dilalah-nya dengan nash yang dihapus dilalah-nya (mansukh).
Dengan demikian, apabila tidak sama kekuatan dilalahnya, maka tidak bisa diterima. Konsekuensinya lafazh khash yang qath’i itu tidak bisa dihapus (dinasakh) dengan hadis ahad.
Golongan Jumhur ulama, antara lain Safi’iyyah dan Malikiyyah mengambil pendapat yang menyatakan bahwa sekalipun lafazh khash itu dilalahnya qath’i. namun tetap mempunyai kemungkinan perubahan makna soal wadha-nya (asal pemasangannya), sehingga apabila terdapat nash yang mengubah dilalahnya khash itu. Dari sikap ini terdapat dua kesimpulan yang berbeda dengan pendapat pertama, yaitu:
a. Nash Khash menerima penjelasan dan perubahan
b. Lafazh khash Al-Qur’an menurut pandangannya tetap menerima penjelasan dan perubahan.
Maka ia pandang sebagai lafazh mujmal. Oleh sebab itu, lafazh khash mungkin saja berubah melalui penjelasan. Sungguhpun penjelasan itu kekuatan dilalahnya dari segi tsabut lebih rendah dari kekuatan khash itu sendiri, seperti hadis ahad.
Perbedaan pendapat para ulama tentang kedudukan dilalah khash tersebut berpengaruh terhadap beberapa masalah fiqih, misalnya, pengertian ruku’ pada ayat:

وَارْكَعُوْا مَعَ الرَّاكِعِيْنَ.
“Rukuklah bersama orang-orang yang ruku.”
Ulama Hanafiyah memandang bahwa ruku’ dalam shalat itu sebagaimana lafazh khash untuk suatu perbuatan yang ma’lum; yaitu condong dan berdiri tegak. Mereka menyatakan sesungguhnya ruku’ yang diperintahkan pada ayat itu dan merupakan bagian fardu shalat adalah condong dan berdiri tegak tanpa tuma’ninah.
Adapun hadis yang memerintahkan keharusan tuma’ninah adalah:
قُمْ فَصَلِّ لِأَنَّكَ لَمْ تُصَلِّ.
“Berdirilah dan shalatlah karena engkau belum shalat.”
Tuma’ninah itu bukan syarat sah shalat. Menurut mereka, seandainya tuma’ninah itu syarat sah shalat, berarti merupakan penambahan atas lafazh khash Al-Qur’an yang jelas. Dengan sendirinya, hal itu termasuk penambahan khabar ahad. Dan berarti sebagai nasakh, sedangkan nasikh (penghapus) harus sama kekuatan dilalahnya dari segi wurud dengan mansukh-nya. Padahal hadis ahad tersebut tidak sama dengan kekuatan khash Al-Qur’an yang qath’i, sehingga mereka tidak mensyaratkan tuma’ninah sebagai syarat ruku’. Dengan kata lain, mereka tidak menjadikan tuma’ninah sebagai fardu.
Tegasnya, yang fardu itu rukuknya, bukan tuma’ninahnya.

3. Macam-Macam Lafadz Khas
Lafazh Khash itu bentuknya banyak, sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada lafazh itu sendiri. Ia kadang-kadang berbentuk muthlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid apapun, kadang-kadang berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid, kadang-kadang berbentuk amr (perintah), dan kadang-kadang berbentuk nahy (larangan). Dengan demikian, macam-macam lafazh khash mencakup: muthlaq, muqayyad, amr, dan nahyi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar