Rabu, 05 Juni 2013

USUL FIQIH

BAB I
PENDAHULUAN
Allah swt telah mewahyukan Al-qur’an kepada Nabi Muhammad SAW yang berisi perintah dan larangan untik menjadi pedoman hidup ummat manusia, barang siapa yang mengikutinya akan selamat di dunia dan akherat dan bagi manusia yang tidak menundukan dirinya kepada aturan Al-qur’an akan dimurkai oleh SWT.
Dalam islam dalil utama yang digunakan oleh fiqaha untuk mengistimbat hukum-hukum adalah Al-qur’an, bila dalam Al-qur’an tak diatur atau tidak diperdapatkan hukum maka dalil berikutnya yang akan digunakan oleh mufassir adalah Al-Hadis. Sekitarnya dalam hadispun tak diperdapatkan ketentuan-ketentuan hukum yang dikaji maka dalil berikutnya adalah Ijma dan Qias.
Al-qur’an, Hadis, Ijma’ dan qias merupakan dalil-dalil syara’ yang sudah disepakati oleh para jumhur fuqaha untuk menggali hukum-hukum syara’ sebagai jawaban terhadap hukum-hukum yang belum ada ketentuannya.
Di samping dalil-dalil syara’ yang sudah disepakati oleh jumhur masih terdapat banyak sangat dalil-dalil syara’ yang masih di perselisihkan oleh jumhur ulama apakah boleh menjadi dalil syara’ atau tidak boleh termasuk Al-Qaul Shahabi.
Dalam tulisan ini akan diuraikan perkara-perkara tentang Al-Qaul Sahabi. Tajuk ini disusun sebagai salah satu tugas subjek Ushul Fiqih.



BAB II
PEMBAHASAN
QAUL SHAHABY
1.      QAUL  SHAHABY

Sepeninggal Rasulullah SAW, maka pemberi fatwa dan pembentuk hukum-hukum Islam untuk kepentingan ummat Islam adalah para shabat yang benar-benar sudah mafhum dengan fiqh dan ilmu agama lainnya serta lantaran akrabnya mereka dengan Rasullullah didalam pergaulan sehingga mampu memahami Al-qur’an dan hukumnya. Para sahabat telah mengeluarkan berbagai fatwa mengenai berbagai kejadian dan permasalahan yang sangat banyak.
 “Qaul” artinya adalah ucapan, perkataan.
“Shahaby” artinya adalah sahabat, teman. Tetapi yang dimaksudkan disini adalah sahabat nabi, yakni seorang yang hidup pada masa Nabi atau pernah bertemu Nabi dan mati dalam islam.
Qaul Shahaby dalam ilmu ushul fiqih adalah :
 “Fatwa sahabat (Nabi) yang berbentuk ucapan dengan dasar (pendapat) pribadinya.”
Jadi perkataan atau fatwa atau hasil ijtihad seorang sahabat Nabi tentang sesuatu hal yang berhubungan dengan hukum syara’, dinamakan qaul shahaby  atau Qaul sahabat.
            “Qaul shahaby” pada sebagian kitab-kitab ushul fiqih sering juga disebut dengan “mahzab sahabat “, tetapi diketahui bahwa hal itu bukanlah dimaksudkan sebagai ijma’ sahabat (kesepakatan semua sahabat terhadap suatu masalah).
            Tentang Qaul sahabat, terdapat hal-hal yang telah disepakati oleh para ulama dan terdapat pula yang diperselisihkan, yaitu:
1.      Hal yang disepakati oleh ulama adalah bahawa pendapat sahabat atau Qaul sahabat tidaklah menjadi hujah bagi sahabat lainnya seperti Qaul ibnu umar tidak menjadi hujjah bagi ibnu abbas, qaul abu bakar tidak menjadi hujjah bagi umar bin khattab demikian juga sebaliknya.
2.      Hal-hal yang diperselisihkan adalah, tentang boleh atau tidaknya qaul sahabat dijadikan hujjah bagi tab’in. atau orang-orang yang sesudahnya. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
a)      Jumhur ulama berpendapat bahwa qaul sahabat tidak dapat dijadikan hujjah dalam menentukan hukum syara’, baik bagi sahabat yang lainnya, tab’in attaupun orang-orang sesudahnya.
b)      Sebagian ulama lainya berpendapat nahwa. Qaul sahabat boleh dijadikan hujjah untuk  tab’in dan orang-orang yang sesudahnya. Sementara itu mereka mensyaratkna bahwa tidak boleh beretentangan dengan qias.
c)      Menurut imam Abu Hanifah beserta rakan-rekannya berpendapat bahwa perkataan sahabat itu adalah hujjah. Kata Imam Abu Hanifah: Apabila saya mendapatkan ketentuan dari  kita Allah dan sunnah Rasulullah SAW maka saya mengambil pendapat dari sahabat beliau yang saya kehendaki dan meninggalkan pendapat beliau yang tidak saya kehendaki. Saya tidak mau keluar dari pendapat sahabat-sahabat tersebut untuk kemudian memilih pendapat selain sahabat.
d)     Imam Syafi’I tidak sepakat jika salah seorang pendapat sahabat menjadi hujjah beliau membolehkan melawan pendapat seluruh sahabat untuk berijtihad menetetapkan pendapat yang berlainan. Karena pendapat para sahabat itu tidak  lain adalah sekumpulan ijtihad perseorangan yang tidak luput dari kesalahan.
Demikian perselisihan pendapat para ulama dalam hal boleh atau tidaknya berhujjah dengan Qaul sahabat dalam menetapkan hukum.
Bila kita perhatikan kembali, yang bisa dijadikan hujjah adalah Al-qur’an dan hadis atau sunnah yang sah riwayatnya dari nabi. Adapun qaul sahabat tidak tertutup kemungkunan untuk salah, karna itu tidak berbeda dengan mujtahid lainnya. Sebab bagaimanapun juga sahabat tidaklah tergolong orang-orang maksum sebagaimana nabi. Dilain hal haruslah diaui pula bahwa sahabat Nabi adalah orang-orang yang lebih mengetahui dalam beberapa hal, seperti misalnya asbabun nujul dari sesuatu ayat atau sebab-sebab turunya sesuatu ayat, karna sebagian sahabat ikut menyaksikan peristiwa itu.


A.    Abu Zaharah menyatakan mazhab sahabi terdiri dari beberapa bentuk, yaitu:

a.       Apa yang disampaikan oleh sahabat itu adalah berita yang didengarnya dari pada Nabi SAW, tetapi tidak menyatakan bahwa berita itu sebahgai sunnah Rasulullah SAW.
b.      Apa yang disampaikan sahabat adalah sesuatu yang didengari dari orang pernah memndengarnya daripada Nabi SAW, tetapi orang itu tidak pernah menjelaskan bahwa yang didengarnya berasal daripada daripada Nabi SAW.
c.       Sesuatu yang disampaikan itu adalah hasil pemahaman sahabat terhadap ayat Al-qur’an yang orang lain tidak memahaminya.
d.      Sesuatu yang disampaikan oleh sahabat itu telah disepakati lingkungannya.
e.       Apa yang disampaikan oleh sahabat merupakan hasil pemahaman atas dalil-dalil karena kemampuannya dalam bahasa dan penggunaan dalil.

B.      Dalam menetukan kehujjahan mazhab sahabi sebagai dalil syara’ maka dapatlah di bagi kedalam empat jenis pendapat, antara lain:

a.       Pendapat sahabat yang bukan berasal dari pada hasil ijtihadnya. Ulama berpedapat bahwa boleh dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum bagi generasi sesudahnya.
b.      Pendapat sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka yang dikenali dengan ijmak sahabat, pendapat sahabat seperti ini merupakan hujjah.
c.        Pendapat sahabat secara individu tidak mengikat sahabat yang lain, oleh karenanya sudah biasa dikalangan sahabat berbeda dalam suatu masalah.
d.      Pendapat sahabat secara individu yang merupakan hasil ijtihadnya dan tidak mendapat kesepakatan diantara para sahabat, dalam hal ini ulama berselisih pendapat tentang kehujjahannya.

                   Sebagaimana seorang sahabat boleh berbeda pendapat dengan sahabat lain, maka para mujtahid setelah sahabatpun demikian halnya. Oleh karenanya Immam Syafi’I berkata menetapkan hukum atau member fatwa tidak boleh melainkan berdasarkan pendapat yang kuat yaitu Al-Qur’an, Al-Hadist, pendappat para ahli yang tidak diperselisihkan lagi atau qias kepada salah satu pendapat di atas.
                   Jadi berdasarkan keterangan diatas maka Abu Hnifah membolehkan mengambil pendapat salah satu sahabat sebagai hujjah dan tidak boleh meninggalkan keseluruhan pendapat salah satu sahabat sebagai hujjah dan tidak boleh meninggalkan keseluruhan pendapat sahabat, sedangkan Imam Syafi’I mengatakan tidak boleh menjadikan hujjah pendapat seorang sahabat saja.
                   Mazhab sahabi bermaksud pendapat Nabi SAW tentang sesuatu perkara yang tidak dijelaskan hukumnya secara tegas dalam Al-qur’an atau hadis.



C.    Contoh kasus Qaul shahabi yang konkrit antara lain:
Atinya :
“Dari ibnu masud bertanya kepada Nabi SAW, Apa dosa besar disisi allah? Beliau menjawab: engkau menjadikan dia berbilang-bilang atau menyekutukannya padahal ia yang telah menciptakan engkau. Aku berkomentar bahwa itu perkara yang sangat besar. Lalu apalagi? Beliau bersabda: engkau membunuh anakmu karena takut makan bersamamu, lalu apalagi? Beliau bersabda: engkau berzinah dengan wanita lain dengan istimewah.”

Contoh Qaul yang lain sebagai berikut:

Dari Ali r.a, dia berkata “ Aku adalah seorang yang sering mengalami keluar mazi, maka aku suruh Al-Miqdad menanyakan (masalah tersebut) kepada Rasul SAW, maka rasul menjawab, bahwa padanya harus berwudhu.”(HR Bukhari).



PENUTUP
KESIMPULAN
            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, karena qaul sahabat semata-mata pendapat atau hasil ijtihad, maka qaul sahabat tidaklah dapat dijadikan hujjah dalam menentukan hukum syara’ kecuali jelas-jelas di dasarkan kepada Al-Qur’an dan Hadist atau As Sunnah yang ada.


Mazhab sahabi bermaksud pendapat Nabi saw tentang sesuatu perkara yang tidak dijelaskan hukumnya secara tegas dalam Al-qur'an atau hadis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar