Sabtu, 08 Juni 2013

Tafsir Ibadah, Kebaikan, dan Kejahatan

BAB I
PENDAHULUAN

Al-Quran merupakan kitab suci yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Quran merupakan pegangan hidup umat manusia, karena Al-Quran mengandung segala sumber hukum, ilmu penetahuan, serta berisi tentang tata cara kehidupan kita dalam keseharian.
Dalam kesempatan ini kami sebagai pemakalah  akan mencoba untuk menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan tentang masalah ibadah dan dua hal yang berlawanan tetapi satu sama lain diantara keduanya tidak dapat dipisahkan yaitu masalah kebaikan dan kejahatan, diantaranya adalah surah al-an’am ayat 160 dan 22, an-Nisa ayat 79, Hud ayat 114 serta surah al-Hijr ayat 39-40, al-baqarah ayat 21, al a’raf ayat 172.

A.    Latar Belakang Masalah

Seringkali dan banyak di antara kita yang menganggap ibadah itu hanyalah sekedar menjalankan rutinitas dari hal-hal yang dianggap kewajiban, seperti sholat dan puasa. Sayangnya, kita lupa bahwa ibadah tidak mungkin lepas dari pencapaian kepada Tauhid terlebih dahulu. Mengapa ? keduanya berkaitan erat, karena mustahil kita mencapai tauhid tanpa memahami konsep ibadah dengan sebenar-benarnya. Dalam syarah Al-Wajibat dijelaskan bahwa “Ibadah secara bahasa berarti perendahan diri, ketundukan dan kepatuhan.” (Tanbihaat Mukhtasharah, hal. 28).
           
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “IBADAH adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).

Secara umum ibadah seperti yang kita ketahui di antaranya yaitu mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan ramadhan (maupun puasa-puasa sunnah lainnya), dan melaksanakan haji. Selain ibadah pokok tersebut, hal-hal yang sering kita anggap sepele pun sebenarnya bernilai ibadah dan pahalanya tidak dapat diremehkan begitu saja.
B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah pengertian ibadah dan hakekatnya?
2.      Jelaskan surah yang mengabdi kepada allah sebagai fitrah allah?
3.      Sebutkan pokok-pokok ibadah kepada allah?
4.      Sebutkan dan jelaskan surah kebaikan dan kejahatan dalam konsep al-quur’an?
5.      Jelaskan penafsiran dari masing-masing surah tersebut?

C.    Tujuan Pembahasan

Sebagaiman diketahui, pembahasan dalam makalah ini adalah membahas tentang  kebaikan dan sesuai dengan pembahasannya, dapat membedakan perbuatan kebaikan dan kejahatan, maka bagi yang mengajak kepada kebaikan ia akan mendapatkan sesuatu efek yang positif dari perbuatan yang dilakukannya, Begitu juga dengan kejahatan sesuai dengan pengertian dosa, maka setiap kejahatan yang disebarkan, pelakunya akan mendapatkan dampak negative juga atas tindakannnya, semakin banyak orang yang melakukan kebaikan semakin banyak pula hal positif yang akan didapatkan baik untuk dunia maupun akhirat, begitu juga halnya dengan kejahatan.
BAB II
TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG IBADAH, KEBAIKAN, DAN KEJAHATAN

A.    PENGERTIAN IBADAH DAN HAKIKATNYA

Ibadah adalah suatu bentuk kepatuhan dan ketundukan yang berpuncak kepada sesuatu yang diyakini menguasai jiwa raga seseorang dengan penguasaan yang arti dan hakikatnya tidak terjangkau.[1]

 Ada 3 hal yang menandai keberhasilan seseorang mencapai hakikat ibadah:
1.      Si pengabdi tidak menganggap apa yang berada dalam genggaman tangannya sebagai milik pribadinya, tetapi milik siapa yang kepada-Nya dia mengabdi
2.      Segala aktivitasnya hanya berkisar pada apa yang diperintahkan oleh siapa yang kepada-Nya ia mengabdi dan menghindar dari apa yang dilarang-Nya.
3.      Tidak memastikan sesuatu untuk dia laksanakan atau hindari kecuali dengan mengaitkannya dengan kehendak siapa yang kepada-Nya ia mengabdi.[2]

Hal ini terdapat dalam :
1.      QS. Al-Baqarah : 21

Ayat yang dimaksud yaitu:

  يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
21. wahai manusia! Sembahlah olehmu akan Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, supaya kamu terpelihara.
           
              يَاأَيُّهَا النَّاسُ “Wahai manusia!” (pangkal ayat 21).
Kata seruan kepada warga mekkah dan seluruh manusia yang telah dapat berfikir – اعْبُدُواsembahlah olehmu” dengan bertauhid atau mengesakan - رَبَّكُمُ الَّذِي “ Tuhanmu yang telah menciptakan kamu.” –Dari yang tidak ada, kamu telah diadakan dan hidup di atas bumi. – وَا “Dan”diciptakan-Nya pula- قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa “. 

Artinya datang kedunia mendapat sawah dan ladang, rumah tangga dan pusaka yang lain dari nenek moyang sehingga yang datang kemudian hanya melanjutkan apa yang dicecang dan dilatih oleh orang tua. Maka orang tua yang telah meninggalkan pusaka itupun Allah jualah yang menciptakan mereka. Disuruh mengingatkan itu- “Supaya kamu terpelihara”. (ujung ayat 21).
Disuruh kamu mengingat itu untuk insaf akan kedudukanmu dalam bumi ini. Dengan mengingat diri dan mengingat kejadian nenek moyang bersambung ingatan yang sekarang dengan zaman lampau, supaya kelak diwariskan lagi pada anak cucu, yaitu supaya selalu terpelihara atau dan memelihara diri dan kemanusiaan, jangan jatuh martabat jadi bintang, yaitu dengan jalan beribadat, berbakti dan menyembah kepada Tuhan, mensyukuri nikmat yang telah dilimpahkanNya.[3]
Tetapi ingat, ibadah yang dilakukan itu bukkkanlah untuk kepentingan-Nya, tetapi untuk kepentingan sang pengabdi, yakni agar ia bertakwa serta terhindar dari siksa dan sanksi Allah di dunia dan di akhirat.

B.     MENGABDI  KEPADA  ALLAH  SEBAGAI  FITRAH  MANUSIA

Dijelaskan  dalam surah:
1.      QS. Al-A’raf : 172
Ayat yang dimaksud yaitu:


    وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ     بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ  

172.Dan ingatlah ketika Tuhanmuu mengeluarkan dari sulbi anak cucu Adam keturunan mereka dan allah menggambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab , “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini,”

            Dalam ayat ini Allah menerangkan tentang janji yang dibuat pada waktu manusia dilahirkan dari rahim orang tua (ibu) mereka, secara turun temurun, yakni Allah menciptakan manusia atas dasar fitrah. Allah menyuruh roh mereka untuk menyaksikan susunan kejadian diri mereka yang membuktikan keesaan-Nya, keajaiban proses penciptaan dari setetes air mani hingga menjadi manusia bertubuh sempurna, dan mempunyai daya tanggap indra dengan urat nadi dan system urat syaraf yang mengagumkan, dan sebagainya. Berkata Allah kepada roh manusia “bukankah aku ini Tuhanmu?” Maka menjawablah roh manusia , (Benar Engkaulah Tuhan kami), kami telah menyaksikan.” Jawaban ini merupakan pengakuan roh pribadi manusia sejak awal kejadiannya akan adanya Allah Yang Maha Esa, yang tiada Tuhan lain yang patut disembah kecuali dia.[4]
Ayat di atas menjelaskan dua sebab mengapa persaksian tersebut diambil Allah. Yang pertama adalah agar manusia di hari kiamat nanti tidak berkata: “sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” Yakni kalu kami tidak melakukan hal tersebut, mereka akan berkata:”Kami tidak tahu atau kami lengah karena tidak ada petunjuk yang kami peroleh menyangkut wujud dan keesaan Allah. Tidak wajar orang yang tidak tahu atau lengah dimintai pertanggung jawaban.” Allah mengambil dari mereka kesaksian dalam arti memberikan kepada setiap insan potensi dan kemampuan untuk menyaksikan keesaan Allah bahkan menciptakan mereka dalam keadaan memiliki fitrah kesucian dan pengakuan akan keesaan itu.[5]
2.      QS. Ar-Ruum : 30
Ayat yang dimaksud yaitu:

         فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ           اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ              

30.“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak ada yang mengetahui.”

   فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا
Maka tegakanlah atau arahkanlah wajahmu kepada agama dalam keadaan lurus”, maksud dari tegakkanlah wajahmu yaitu berjalanlah tetap diatas jalan agama yang telah disyariatkan oleh Allah untuk mu, Agama disebut dengan agama hanif, yang artinya sama dengan al-Mustaqim yaitu LURUS. Dan berpalinglah kamu dari kesesatan untuk menuju kepada agama yang lurus.[6]
 
 فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
Tetaplah kalian semua pada fitrah yang telah diciptakan oleh Allah dalam diri manusia menurut fitrah itu”karena sesungguhnya dia telah menjadikan fitrah dalam diri manusia yang cenderung kepada ajaran tauhid dan meyakinkannya. Dimana kata fitrah yang diambil dari kata fathara yang artinya mencipta, kemudian pakar menambahkan fitrah itu adalah menciptakan sesuatu pertama kali tanpa ada contoh sebelumnya dalam arti asal kejadian/ bawaan sejak lahir.[7]
  لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ    
“Tidak ada perubahan pada fitrah Allah” maksudnya ini seolah-olah dikatakan janganlah kalian mengganti agama allah dengan kemusrikan dan bahwa akal manusia itu seakan-akan lembaran yang putih bersih dan siap untuk menerima tulisan yang akan dituangkan diatasnya dan ia seperti lahan yang dapat menerima semua apa yang akan ditanam kepadanya, jiwa manusia itu dating kepadanya berbagai macam agama dan pengetahuan lalu ia menyerapnya, akan tetapi hal-hal yang baiklah yang paling banyak diserapnya dan jiwa manusia itu tidak akan mengganti fitrah yang baik ini dengan pendapat-pendapat yang rusak melainkan dengan adanya seorang guru yang mengajarinya.[8]
  ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
Aku perintahkan kepada kalian yaitu ajaran tauhid, ia adalah agama yang hak, tiada kebengkokan tiada pula penyimpangan didalamnya, maksudnya agama ini mengandung makna kekokohan dan kemantapan agama islam serta kebersihan dan kesuciannya dari segala macam kesalahan dan kebatilan, ia juga adalah agama yang terpelihara di sisi Allah swt sehingga agama ini akan lenggang selama-lamanya.
  وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, karena mereka tidak mau menggunakan akalnya guna memikirkan bukti-bukti yang jelas yang menunjukkan kepada ketauhidan. Sebagaimana contohnya dalam memahami larangan Allah dalam mengubah fitrah keagamaan manusia.[9]

C.    POKOK-POKOK IBADAH KEPADA ALLAH

Ibadah itu dapat terbagi dua yaitu:
1.      Ibadah Maghdho
Ibadah maghdho adalah ibadah yang sudah ada ketentuannya,
Contohnya:
Shalat, puasa, dan zakat.

2.      Ibadah ghairuh maghdo
Ibadah ghairuh maghdo ialah ibadah yang belum ada ketentuanya,
Contohnya:
Sedekah, makan, tidur, senyum, silaturahmi, bertetangga, bergaul, bersosialisasi.

Hal ini juga terdapat dalam surah ar-ruum dalam ayat:

   ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
Aku perintahkan kepada kalian yaitu ajaran tauhid, ia adalah agama yang hak, tiada kebengkokan tiada pula penyimpangan didalamnya, maksudnya agama ini mengandung makna kekokohan dan kemantapan agama islam serta kebersihan dan kesuciannya dari segala macam kesalahan dan kebatilan, ia juga adalah agama yang terpelihara di sisi Allah swt sehingga agama ini akan lenggang selama-lamanya.

            Allah memerintahkan kita untuk selalu beribadah kepada allah yaitu dengan ajaran tauhid. Selain itu pokok-pokok ibadah yang harus kita lakukan adalah seperti ibadah yang dijelaskan tersebut.

D.    KEBAIKAN DAN KEJAHATAN DALAM KONSEP AL-QUR’AN

Dijelaskan dalam surah:
1.      QS. Al-An’am : 160

Pada suatu waktu Rasulullah SAW pernah bersabda: “Barang siapa berpuasa tiga hari pada tanggal purnama di setiap bulan, berarti dia telah berpuasa setahun penuh”.  Pada suatu ketika yang lain rasulullah SAW juga pernah bersabda: “Shalat Jum’at sampai dengan Jum’at berikutnya adalah merupakan tebusan dosa (kafarat), bahkan ditambah tiga hari sesudahnya”.
Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat ke 160 dari surah al-An’am sebagai dukungan dan membetulkan apa yang telah disabdakan Rasulullah SAW. (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Thabrani dari Hisyam bin Martsad dari Muhammad bin Isma’il dari ayahnya dari Dhamdham bin Zar’ah dari Syuraih bin Ubaid dari abi Malik al-Asy’ari).

Ayat yang dimaksud yaitu :
  مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ(160)
160.  Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).


Ayat ini menjelaskan bahwa pembalasan Allah SWT. sungguh adil, yakni barang siapa diantara manusia yang datang membawa amal yang baik, yakni berdasar iman yang benar dan ketulusan hati, maka baginya pahala sepuluh kali lipatnya yakni sepuluh kali lipat amalnya sebagai karunia dari Allah SWT; dan barang siapa yang membawa perbuatan yang buruk maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, itu pun jikalau allah menjatuhkan sanksi atasnya, tetapi tidak sedikit keburukan hamba yang dimaafkannya. Kalau allah menjatuhkan sanksi, maka itu sangat adil, dan dengan demikian mereka yakni yang melakukan kejahatan itu sedikitpun tidak dianiaya tetapi masing-masing akan memperoleh hukuman setimpal dengan dosanya. Adapun yang berbuat kebajikan, maka bukan saja mereka tidak dianiaya, bukan juga mereka diberi ganjaran yang adil, tetapi mereka mendapat anugerah dari Allah SWT.

Ayat ini memerintahkan kita supaya memperbanyak berbuat baik. Artinya ialah barang siapa yang datang kepada Allah di hari kiamat dengan sifat-sifat yang baik, maka ia akan mendapat ganjaran atau pahala dari Allah SWT.

Dan barang siapa yang nantinya menghadap Allah dengan sifat-sifat jahat yang telah tertanam dalam dirinya, maka ganjaran siksaan yang akan diterimnya adalah setimpal dengan kejahatannya. Artinya suatu kejahatan tidaklah akan dibalas dengan sepuluh kali ganda siksaan. Maka ayat ini memberikan kejelasan benar bagi kita bahwasanya sifat Rohman dan Rohim Allah lebih berpokok dari sifat murkanya Allah SWT.

Di dalam hadist Nabi  Muhammad, banyak dijumpai tentang balasan amal baik dan amal jahat bahkan diterangkan pahala bagi orang yang belum mengerjakan sesuatu perbuatan baik tapi hanya sekedar niat atau ketetapan hati untuk meluluhkanya.[10]

2.      QS. An-Nisa : 79

Orang-orang munafik apabila dalam bertanam, mencari rezeki, berdagang dan dalam berkeluarga baik dari sisi sanak, kerabat maupun anak-anaknya mendapat kebaikan, maka mereka mengatakan bahwa semua itu datang dari Allah SWT. Sebaliknya, kalau mereka mendapat musibah, baik dalam mencari rezeki maupun dalam keluarga selalu menyalah-nyalahkan Rasulullah SAW. Muhammad sebagai penyebab datangnya musibah.

Hal itu mereka lakukan karena dalam lahiriyahnya mereka cinta dan tunduk kepada Rasulullah SAW. Tetapi dalam batinnya sangat benci terhadap ajaran yang dibawa Rasulullah SAW. Sehubungan dengan itu Allah menurunkan ayat ke-78 dan ke-79 dari surah an-Nisa sebagai ketegasan, bahwa semua itu datang dari Allah. Musibah datang bukan karena mengikuti ajaran Muhammad, dan bukan pula Muhammad penyebabnya. Tetapi atas kehendak Allah SWT, dimaksudkan sebagai ujian bagi mereka. (HR. Abu Aliyah dari Suddi).

Surah an-Nisa ayat 79 yaitu :

   مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ        لِلنَّاسِ رَسُولًا وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا(79)
79.  Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi.

 Ayat ini menegaskan sisi upaya manusia yang berkaitan dengan sebab dan akibat. Hukum-hukum alam dan kemasyrakatan cukup banyak dan beraneka ragam. Dampak baik dan dampak buruk untuk setiap gerak dan tindakan telah ditetapkan Allah melalaui hukum-hukum tersebut, manusia diberi kemampuan memilah dan memilih, dan masing-masing akan mendapatkan hasil pilihannya. Allah sendiri melalui perintah dan larangan-Nya menghendaki, bahkan menganjurkan kepada manusia agar meraih kebaikan dan nikmat-Nya, karena itu ditegaskan-Nya bahwa, apa saja nikmat yang engkau peroleh, wahai Muhammad dan semua manusia, adalah dari Allah, yakni Dia yang mewujudkan anugerah-Nya, dan apa saja bencana yang menimpamu, engkau wahai Muhammad dan siapa saja selain kamu, maka bencana itu dari kesalahan dirimu sendiri, karena Kami mengutusmu tidak lain hanya menjadi Rasul untuk menyampaikan tuntutan-tuntutan Allah kepada segenap manusia, kapan dan di mana pun mereka berada. Kami mengutusmu hanya menjadi Rasul, bukan seorang yang dapat menentukan baik dan buruk sesuatu sehingga bukan karena terjadinya bencana atau keburukan pada masamu kemudian dijadikan bukti bahwa engkau bukan Rasul. Kalaulah mereka menduga demikian, biarkan saja. Dan cukuplah Allah menjadi saksi atas kebenaranmu.
Ayat diatas secara redaksional ditujukan kepada Rasulullah saw., tetapi kandungannya terutama ditujukan kepada mereka yang menyatakan bahwa keburukan bersumber dari Nabi atau karenakesialan yang menyertai beliau. Pengarahan redaksi ayat ini kepada Nabi membuktikan bahwa kalau beliau yang sedemikian dekat dengan kedudukannya di sisi Allah serta sedemikian kuat ketakwaannya kepada Allah tetap tidak dapat luput dari sunnatullah dan takdir-Nya, maka tentu lebih-lebih yang lain. Allah tidak membedakan seseorang dari yang lain dalaqm hal sunnatullah ini.[11]

 Setiap kebaikan yang diperoleh oleh orang mukmin, sesungguhnya berasal dari karunia dan kemurahan Allah, di ayat ini ada dua hal yang perlu diketahui :

Ø  Bahwa segala sesuatu yang berasal dari sisi Allah, dalam arti bahwa Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan menggariskan aturan-aturan.
Ø   Manusia terjerumus kedalam keburukan tidak lain disebabkan dia lalai untuk mengetahui sunnah-sunnah. Sesuatu dikatakan buruk, sebenarnya disebabkan oleh tindakan manusia itu sendiri.

Berdasarkan pandangan ini, maka kebaikan berasal dari karunia Allah secara mutlak, dan keburukan berasal dari diri manusia sendiri secara mutlak. Masing-masing dari dua kemutlakan ini mempunyai posisi pembicaraan tersendiri. Telah banyak dasar yang menyatakan bahwa ketaatan kepada Allah merupakan salah satu sebab mendapatkan nikmat, dan bahwa kedurhakaaan kepadanya merupakan salah satu jalan yang mendatangkan kesengsaraan. Ketaatan kepadanya adalah mengikuti sunnah-sunnah-Nya dan menggunakan jalan-jalan yang telah diberi-Nya pada tempat mestinya.

“Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia”. Kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan ajaran Allah. Dia tidak mempunyai urusan dan campur dalam perkara kebaikan dan keburukan yang menimpa manusia, karena beliau diutus menyampaikan ajaran menyampaikan hidayah.

“Dan cukuplah Allah menjadi saksi”. Sesungguhya rasul diutus kepada seluruh umat manusia hanya sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, bukan sebagai orang yang berkuasa atau untuk mengubah dan mengganti aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

1.      Q.S al-An’am ayat 160
Pada ayat ini dapat disimpulkan bahwa Allah benar-benar maha adil, dimana Allah akan selalu memberikan karunia-Nya kepada umatnya yang beribadah dengan dasar keimanan dan ketulusan hati dengan memberikan ganjaran pahala sepuluh kali lipat dari amal saleh yang telah dikerjakan, serta hanya memberikan ganjaran yang sesuai dengan maksiat yang dikerjakan manusia.

2.      QS. an-Nisa ayat 79
Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa segala sesuatu kebaikan yang menimpa umat manusia adalah secara mutlak dating dari Allah dan segala sesuatu yang buruk yang menimpa manusia semata-mata karena perbuatan manusia itu sendiri.

3.      QS. Al-Baqarah : 21
Pada ayat ini disuruh kamu mengingat itu untuk insaf akan kedudukanmu dalam bumi ini. Dengan mengingat diri dan mengingat kejadian nenek moyang bersambung ingatan yang sekarang dengan zaman lampau, supaya kelak diwariskan lagi pada anak cucu, yaitu supaya selalu terpelihara atau dan memelihara diri dan kemanusiaan, jangan jatuh martabat jadi bintang, yaitu dengan jalan beribadat, berbakti dan menyembah kepada Tuhan, mensyukuri nikmat yang telah dilimpahkan-Nya

4.      QS. Ar-Ruum : 30
Pada ayat ini Allah  perintahkan kepada kita yaitu ajaran tauhid, ia adalah agama yang hak, tiada kebengkokan tiada pula penyimpangan didalamnya, maksudnya agama ini mengandung makna kekokohan dan kemantapan agama islam serta kebersihan dan kesuciannya dari segala macam kesalahan dan kebatilan, ia juga adalah agama yang terpelihara di sisi Allah swt sehingga agama ini akan lenggang selama-lamanya.

5.      QS. Al-A’raf : 172
Dalam ayat ini Allah menerangkan tentang janji yang dibuat pada waktu manusia dilahirkan dari rahim orang tua (ibu) mereka, secara turun temurun, yakni Allah menciptakan manusia atas dasar fitrah.
                                                            








DAFTAR PUSTAKA

Abdullah yusuf ali, Qur’an dan terjemahan tafsirnya(juz I s/d XV, Jakarta: Pustaka firdaus,1993,hlm 201-393
Ahamad mushthafa almaraghi, terjemah tafsir Al-Maraghi 21, Semarang: CV.Toha Putra Semarang, 1992,hlm.80-84
Ahamad mushthafa almaraghi, terjemah tafsir Al-Maraghi 5, Semarang: CV.Toha Putra Semarang, 1992,hlm.153
Ahamad mushthafa almaraghi, terjemah tafsir Al-Maraghi 8, Semarang: CV.Toha Putra Semarang, 1992,hlm.149
Hamka, Prof , DR , Tafsir Al-Azhar,juzu’ 1-2-3, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, hlm 146-148
Hamka, Prof , DR , Tafsir Al-Azhar,juzu’ 21-22-32, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, hlm 76-81
Imam Jalaludin Al-Mahali dan Imam Jalaludin As-Suyuthi, tafsir jalaludin berikut asbabun nuzul jilid 1,bandung: sinar baru al-gensindo,2004,hlm.11
 Kementrian agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya jilid III juz 7,8,9, Jakarta: Lentera Abadi, 2010,hlm.141
M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-1,Jakarta: Lentera hati, 2002,hlm.144-148
M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-4,Jakarta: Lentera hati, 2002,hlm.366-372






[1] M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-1 (Jakarta: Lentera hati, 2002) h.145
[2] ibid
[3]Imam Jalaludin Al-Mahali dan Imam Jalaludin As-Suyuthi, tafsir jalaludin berikut asbabun nuzul jilid 1,(bandung: sinar baru al-gensindo,2004)h.11
[4] Kementrian agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya jilid III juz 7,8,9, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010) h.520
[5] M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-4 (Jakarta: Lentera hati, 2002) h.370-371
[6] Hamka, Prof , DR , Tafsir Al-Azhar,juzu’ 21-22-32, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988) h.77
[7]M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-4,(Jakarta: Lentera hati, 2002)h.53
[8]Ahamad mushthafa almaraghi, terjemah tafsir Al-Maraghi 21,terj Bahrun Abu Bakar.LC (Semarang: CV.Toha Putra Semarang, 1992)h.84
[9] M.Quraish Shihab, Tafsir Almisbah pesan,kesan,dan keserasian al-Quran, Volume-4,(Jakarta: Lentera hati, 2002)h.59
[10] Kementrian agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya jilid III juz 7,8,9, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010) h.141
[11] Abdullah yusuf ali, Qur’an dan terjemahan tafsirnya(juz I s/d XV, (Jakarta: Pustaka firdaus,1993)h. 201-393

Tidak ada komentar:

Posting Komentar