PEMBAHASAN
Hadis
shahih adalah hadis yang bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang
adil, dhabit, yang diterimanya dari perawi yang sama(kwalitasnya) dengannya
sampai kepada akhir sanad, tidak syadz dan tidak pula ber’illat.
SYARAT-SYARAT
HADIS SHAHIH
1.
Sanadnya
bersambung (ittishal al-sanad)
Maksudnya
adalah setiap perawi menerima hadits secara langsung dari perawi yang ada
diatasnya atau dari perawi yang terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung
demikian sampai akhir sanad hadis itu.[1] sanad
hadis tersambung sejak sanad pertama sampai sanad terakhir sampai kepada nabi
Muhammad SAW sebagai sumber hadis tersebut.
Untuk mengetahui
bersambung atau tidaknya suatu sanad hadis, menurut M. Syuhudi Ismail, ulama
biasanya menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:
·
Mencatat semua nama perawi dalam sanad
yang diteliti
·
Mempelajari sejarah hidup masing-masing
perawi
·
Meneliti kata-kata yang menghubungkan
antara para perawi dengan perawi terdekat dalam sanad yakni kata-kata atau
metode yang dipakai dalam sanad berupa: haddatsanii,
haddatsanaa, akhbaranii, akhbaranaa, sami’tu, dan sebagainya.[2]
2.
Perawinya
Bersifat adil
Setiap perawi hadis tersebut
harus bersifat adil, yaitu memenuhi kriteria: muslim, balig, berakal, taat
beragama, tidak melakukan perbuatan fasik, dan tidak rusak muru’ah.[3]
Para ulama hadis
telah menetapkan beberapa cara untuk mengetahui adil tidaknya periwayat hadis
yaitu:
·
Melalui popularitas keutamaan perawi
dikalangan ulama hadis
·
Penilaian dari kritikus perawi hadis
·
Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil
3.
Perawinya
adalah dhabith
Secara sederhana dhabith dapat diartikan
dengan kuat hapalan. Dikalangan ulama pengertian dhabith dinyatakan dengan
redaksi beragam.
Ibn Hajar
Al-Asqalani dan Al-Sakhawi menyatakan bahwa seseorang yang disebut dhabith
adalah orang kuat hapalannya tentang apa yang telah didengar dan mampu
menyampaikan hafalan itu kapan saja dia kehendaki.[4]
Muhammad Abu
Zahra berpedapat, seseorang disebut dhabith apabila mampu mendengarkan
pembicaraan sebagaimana seharusnya, memahami pembicaraan itu secara benar,
kemudian menghapal dengan sungguh-sungguh dan berhasil hapal dengan sempurna,
sehingga mampu menyampaikan hafalan itu kepada orang lain dengan baik.[5]
Sementara itu
Shubhi Al-Shalih menyatakan bahwa orang yang dhabith adalah orang yang
mendengarkan riwayat hadis sebagaimana seharusnya, memahami dengan pemahaman
mendetail kemudian hafal secara sempurna, dan memiliki kemampuan yang demikian
itu, sedikitnya mulai dari saat mendengar riwayat itu sampai menyampaikan
riwayat tersebut kepada orang lain.[6]
Dari pernyataan
para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa dhabith adalah perawi hadis tersebut
memiliki ketelitian dalam menerima hadis, memahami apa yang ia dengar, serta
mampu mengingat dan menghafalnya sejak ia menerima hadis tersebut sampai pada
masa ketika ia meriwayatkannya. Atau, ia mampu memelihara hadis yang ada di
dalam catatannya dari kekeliruan, atau dari terjadinya pertukaran, pengurangan,
dan sebagainya, yang dapat mengubah hadis tersebut.
Kedhabihtan seorang
perawi di bagi 2
·
Dhabith shadran
(kekuatan ingatan atau hafalannya)
·
Dhabith kitaban
(kerapian dan ketelitian tulisan atau catatannya)
Menurut
pendapat berbagai ulama cara untuk mengetahui ke-dhabith-an perawi hadis
adalah:
·
Ke-dhabith-an perawi dapat
diketahui berdasarkan kesaksian ulama.
·
Ke-dhabith-an perawi
dapat diketahui juga berdasar kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang
disampaikan oleh perawi lain yang telah dikenal ke-dhabith-annya, baik
kesesuaian itu sampai tingkat makna maupun sampai tingkat harfiyah.
·
Perawi yang sekali-kali
mengalami kekeliruan, dan kesalahan itu tidak sering terjadi.
4.
Hadis
yang diriwayatkan tersebut tidak syadz (kejanggalan)
Secara bahasa syadz merupakan isim
fa’il dari syadzdza yang berarti menyendiri, menurut ulama hadis syadz adalah
hadis yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah dan bertentangan dengan riwayat
oleh perawi yang lebih tsiqat.[7]
Bagi syafi’i, suatu hadis
mengandung syadz apabila
·
Hadis itu memiliki
lebih dari satu sanad
·
Para perawi itu
seluruhnya tsiqh
·
Matan atau sanad hadis
itu mengandung pertentangan
Bagi al-hakim, suatu hadis
mengandung syadz apabila
·
Hadis itu hanya
diriwayatkan oleh seorang perawi
·
Perawi yang
sendiri itu bersifat tsiqah
Jadi
hadis yang tidak syadz adalah hadis yang tidak menyalahi riwayat perawi yang
lebih tsiqat dari padanya.
5.
Terhindar
dari illat
menurut ahli hadis Yang dimaksud dengan
‘illat dalam hadis adalah sesuatu yang sifatnya samar-samar atau tersembunyi
yang dapat merusak kesahihan hadis.[9]
menurut Mahmud al-Tahhan, suatu
hadis dinyatakan mengandung ‘illat apabila memenuhi kriteria berikut
·
Perawinya menyendiri
·
Perawi lain
bertentangan dengannya
Adapun
cara untuk mengetahui adanya ‘illat hadis adalah sebagai berikut:
·
Menghimpun seluruh
sanad hadis
·
Melihat perbedaan
diantara para perawinya
·
Memperhatikan status
kualitas para perawi
Jadi
hadis itu dikatakan shahih apabila terhindar dari illat
PENUTUP
KESIMPULAN
Hadist
adalah salah satu sumber ajaran islam yang menjelaskan tentang hukum
syariat-syariat islam yang memudahkan manusia memahaminya. Hadist berdasarkan
kualitasnya dibaginya menjadi 3:
1. Hadist Shahih
2. Hadist Hasan
3. Hadist Dhaif
Hadist
Shahih adalah Hadist yang paling kuat digunakan sebagai sumber hokum dari pada
hadist Hasan dan Hadist Dhaif. Hadist Shahih memiliki beberapa criteria yaitu:
1. Sanaadnya bersambung
2. Perawi bersifat adil
3. Perawi bersifat dhabith
4. Terhindar dari Syadz (kejanggalan)
5. Terhindar dari illat
DAFTAR
PUSTAKA
DR.Nawir Yuslem, M.A.ulumul hadist, Jakarta: PT.MUTIARA SUMBER
WIDYA, 2010
Dr.Indri M.ag.
studi hadist. Jakarta: Kencana prenada Media Group, 2010
Dr.phil H.Kamaruddin Amin, M.A. Prof Dr. Harald
Molzki, Menguji Kembali Keakuratan Metode
Kritik Hadist. Jakarta : PT. Mizan publika, 2009
[8] Muhammad ibn Mukarram Ibn
Manzhur, Lisan al-Arab, juz XIII
(Mesir: Dar al-Mishriyah, tth.), hlm. 498 dan Ahmad bin Muhammad al-Fayyumi, al-Mishbah, juz II. Hlm. 509
Tidak ada komentar:
Posting Komentar