Rabu, 05 Juni 2013

MAKALAH HADIS (Hadis Shahih)

PEMBAHASAN

Hadis shahih adalah hadis yang bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, dhabit, yang diterimanya dari perawi yang sama(kwalitasnya) dengannya sampai kepada akhir sanad, tidak syadz dan tidak pula ber’illat.

SYARAT-SYARAT HADIS SHAHIH

1.      Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad)
Maksudnya adalah setiap perawi menerima hadits secara langsung dari perawi yang ada diatasnya atau dari perawi yang terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad hadis itu.[1] sanad hadis tersambung sejak sanad pertama sampai sanad terakhir sampai kepada nabi Muhammad SAW sebagai sumber hadis tersebut.

Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad hadis, menurut M. Syuhudi Ismail, ulama biasanya menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:
·        Mencatat semua nama perawi dalam sanad yang diteliti
·        Mempelajari sejarah hidup masing-masing perawi
·        Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para perawi dengan perawi terdekat dalam sanad yakni kata-kata atau metode yang dipakai dalam sanad berupa: haddatsanii, haddatsanaa, akhbaranii, akhbaranaa, sami’tu, dan sebagainya.[2]

2.      Perawinya Bersifat adil
Setiap perawi hadis tersebut harus bersifat adil, yaitu memenuhi kriteria: muslim, balig, berakal, taat beragama, tidak melakukan perbuatan fasik, dan tidak rusak muru’ah.[3]
           
            Para ulama hadis telah menetapkan beberapa cara untuk mengetahui adil tidaknya periwayat hadis yaitu:
·        Melalui popularitas keutamaan perawi dikalangan ulama hadis
·        Penilaian dari kritikus perawi hadis
·        Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil

3.      Perawinya adalah dhabith
Secara sederhana dhabith dapat diartikan dengan kuat hapalan. Dikalangan ulama pengertian dhabith dinyatakan dengan redaksi beragam.
Ibn Hajar Al-Asqalani dan Al-Sakhawi menyatakan bahwa seseorang yang disebut dhabith adalah orang kuat hapalannya tentang apa yang telah didengar dan mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dia kehendaki.[4]
Muhammad Abu Zahra berpedapat, seseorang disebut dhabith apabila mampu mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya, memahami pembicaraan itu secara benar, kemudian menghapal dengan sungguh-sungguh dan berhasil hapal dengan sempurna, sehingga mampu menyampaikan hafalan itu kepada orang lain dengan baik.[5]
Sementara itu Shubhi Al-Shalih menyatakan bahwa orang yang dhabith adalah orang yang mendengarkan riwayat hadis sebagaimana seharusnya, memahami dengan pemahaman mendetail kemudian hafal secara sempurna, dan memiliki kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat mendengar riwayat itu sampai menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.[6]
Dari pernyataan para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa dhabith adalah perawi hadis tersebut memiliki ketelitian dalam menerima hadis, memahami apa yang ia dengar, serta mampu mengingat dan menghafalnya sejak ia menerima hadis tersebut sampai pada masa ketika ia meriwayatkannya. Atau, ia mampu memelihara hadis yang ada di dalam catatannya dari kekeliruan, atau dari terjadinya pertukaran, pengurangan, dan sebagainya, yang dapat mengubah hadis tersebut.
Kedhabihtan seorang perawi di bagi 2
·        Dhabith shadran (kekuatan ingatan atau hafalannya)
·        Dhabith kitaban (kerapian dan ketelitian tulisan atau catatannya)
Menurut pendapat berbagai ulama cara untuk mengetahui ke-dhabith-an perawi hadis adalah:
·        Ke-dhabith-an perawi dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama.
·        Ke-dhabith-an perawi dapat diketahui juga berdasar kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh perawi lain yang telah dikenal ke-dhabith-annya, baik kesesuaian itu sampai tingkat makna maupun sampai tingkat harfiyah.
·        Perawi yang sekali-kali mengalami kekeliruan, dan kesalahan itu tidak sering terjadi.

                       
4.      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syadz (kejanggalan)

Secara bahasa syadz merupakan isim fa’il dari syadzdza yang berarti menyendiri, menurut ulama hadis syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah dan bertentangan dengan riwayat oleh perawi yang lebih tsiqat.[7]

Bagi syafi’i, suatu hadis mengandung syadz apabila
·        Hadis itu memiliki lebih dari satu sanad
·        Para perawi itu seluruhnya tsiqh
·        Matan atau sanad hadis itu mengandung pertentangan
Bagi al-hakim, suatu hadis mengandung syadz apabila
·        Hadis itu hanya diriwayatkan oleh seorang perawi
·        Perawi yang sendiri  itu bersifat tsiqah
Jadi hadis yang tidak syadz adalah hadis yang tidak menyalahi riwayat perawi yang lebih tsiqat dari padanya.
5.      Terhindar dari illat
Secara bahasa kata i’llat berarti cacat, kesalahan baca, penyakit, dan keburukan.[8]
menurut ahli hadis Yang dimaksud dengan ‘illat dalam hadis adalah sesuatu yang sifatnya samar-samar atau tersembunyi yang dapat merusak kesahihan hadis.[9]
menurut Mahmud al-Tahhan, suatu hadis dinyatakan mengandung ‘illat apabila memenuhi kriteria berikut
·        Perawinya menyendiri
·        Perawi lain bertentangan dengannya
Adapun cara untuk mengetahui adanya ‘illat hadis adalah sebagai berikut:
·        Menghimpun seluruh sanad hadis
·        Melihat perbedaan diantara para perawinya
·        Memperhatikan status kualitas para perawi
Jadi hadis itu dikatakan shahih apabila terhindar dari illat




PENUTUP
KESIMPULAN

Hadist adalah salah satu sumber ajaran islam yang menjelaskan tentang hukum syariat-syariat islam yang memudahkan manusia memahaminya. Hadist berdasarkan kualitasnya dibaginya menjadi 3:
1.      Hadist Shahih
2.      Hadist Hasan
3.      Hadist Dhaif

Hadist Shahih adalah Hadist yang paling kuat digunakan sebagai sumber hokum dari pada hadist Hasan dan Hadist Dhaif. Hadist Shahih memiliki beberapa criteria yaitu:
1.      Sanaadnya bersambung
2.      Perawi bersifat adil
3.      Perawi bersifat dhabith
4.      Terhindar dari Syadz (kejanggalan)
5.      Terhindar dari illat



DAFTAR PUSTAKA

DR.Nawir Yuslem, M.A.ulumul hadist, Jakarta: PT.MUTIARA SUMBER
WIDYA, 2010
Dr.Indri M.ag. studi hadist. Jakarta: Kencana prenada Media Group, 2010
Dr.phil H.Kamaruddin Amin, M.A. Prof Dr. Harald Molzki, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadist. Jakarta : PT. Mizan publika, 2009





[1] Muhammad al-Shabbagh, al-Hadist al-Nabaw, (ttp,: al-Maktab al-Islami, 1971) hlm.162
[2] M. Syuhudi Ismail,  Kaidah, hlm.128

[4] Ahmad ibn  ‘Ali Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhah al-Nazhar, hlm.13
[5] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), hlm. 232
[6] Shubhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadist, hlm.128
[7] Ibid., hlm.117
[8] Muhammad ibn Mukarram Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, juz XIII (Mesir: Dar al-Mishriyah, tth.), hlm. 498 dan Ahmad bin Muhammad al-Fayyumi, al-Mishbah, juz II. Hlm. 509
[9] Mahmud al-Thahhan, Taysr, hlm.100-101

Tidak ada komentar:

Posting Komentar