Rabu, 05 Juni 2013

NASIKH MASUKH

NASIKH MASUKH
A.    Pengertian Nasikh
Nasikh adalah penghapusan lafazh atau hukum suatu nash syara’, sedangkan mansukh adalah nash syara’ yang dihapus lafazh atau hukumya.

Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 106 :
Apa saja ayat-ayat yang kami nasakh, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya, atau kami datangkan yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Macam-macam nasikh dalam Al-Qur’an :
1. Naskh lafaz dan hukum.
Riwayat Ismail bin Ahmad dari Abu Umamah bin Sahl bin Hanif, bahwa telah ada sekelompok orang sahabat Nabi yang memberitahu dia tentang seorang laki-laki diantara mereka yang tidak tidur pada tengah malam. Dia bermaksud untuk membuka catatan sebuah surah yang sebelumnya dia hafal. Ternyata dia tidak menjumpai tulisan surah itu kecuali hanya tulisan “Bismillahirrahmanirrahim”. Maka pada keesokan harinya dia datang ke rumah Nabi untuk menanyakan hal tersebut. Ternyata ada juga beberapa orang yang datang kepada Nabi sehingga mereka berkumpul menjadi beberapa orang. Mereka saling menanyakan antara yang satu dengan yang lain. Mereka juga saling menceritakan pengalaman yang dialami masing-masing tentang tulisan surat yang tiba-tiba hilang. Beberapa saat kemudian Nabi menerima mereka dan mendengarkan penuturan mereka. Kemudian Nabi terdiam sejenak, setelah itu beliau bersabda : “Tadi malam surat tersebut telah di nasakh. Maka hafalan surah itupun dinasakh dari dada mereka (yang telah hafal) dan juga dari benda apapun yang mengabadikan rasm (tulisan) surah tersebut”.

Riwayat dari Ibnu Mas’ud : “Telah diturunkan sebuah ayat Al-Qur’an kepada Rasulullah saw. sehingga saya mencatatnya didalam mushafku. Namun pada suatu malam ternyata permukaan mushaf itu hanya berwarna putih (hilang tulisannya), maka saya menceritakan hal tersebut kepada Nabi, ternyata beliau bersabda : “Tidakkah kamu tahu bahwa ayat tersebut telah diangkat (dinasakh) tadi malam”.

Muslim meriwayatkan dari Aisyah : “Diantara yang diturunkan kepada beliau (Nabi) adalah ‘sepuluh susuan yang maklum itu menyebabkan muhrim”. Lafazh Ayat tersebut telah dinasakh dengan ayat “Lima susuan yang maklum”. Jadi lafazh ‘Sepuluh susuan’ telah dinasakh dengan ayat lain yang ber lafazh ‘Lima susuan’. Demikian juga hukum lima susuan telah menasakh hukum sepuluh susuan yang menyebabkan menjadi muhrim.

2. Naskh lafaz sedang hukumnya tetap.

Yaitu lafazh ayat dihapus dari mushaf, tapi hukumnya tetap berlaku. Contohnya tentang hukum rajam bagi pezina muhson.

Riwayat dari Said bin Al-Musayyab : “bahwa Umar bin Khattab telah berkata : “…Mengenai ayat tentang rajam, maka janganlah sampai kalian tidak mengetahuinya, karena sesungguhnya Rasulullah saw. telah menerapkan hukuman rajam, begitu juga dengan kami, kami telah mempraktekkannya. Ayat tentang rajam itu benar-benar telah diturunkan. Ayat rajam yang kami baca, “Orang tua laki-laki dan orang tua perempuan (maksudnya yang sudah menikah) jika sampai melakukan perbuatan zina, maka rajamlah keduanya dengan pasti”. Kalau bukan karena khawatir orang-orang akan mengatakan Umar telah menambahkan sebuah ayat dalam kitab Allah, pasti saya telah menulis ayat itu dengan tanganku sendiri (dalam mushaf Al-Qur’an)””.

3. Naskh hukum sedang lafaznya tetap.
Yaitu lafazh ayat yang dihapus (mansukh) masih tetap ada dalam mushaf, tapi hukumnya telah dihapus oleh ayat yang menghapusnya (nasikh). Ulama terdahulu (abad 1 s.d. 3 H) memperluas konsep nasakh hingga mencakup hal hal :
a. Penghapusan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
b. Pengecualian (taksish) hukum yang bersifat umum oleh hukum yang meng khususkannya.
c. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang samar.
d. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.

Ulama Mutaakhkhirin mempersempit pengertian nasakh hanya bila meghapuskan hukum yang terdahulu atau telah berakhirnya masa berlaku hukum yang terdahulu sehingga ketentuan yang berlaku adalah hukum yang ditetapkan terakhir. Para ulama masih memperselisihkan adakah ayat Al-Qur’an yang dinasakh hukumnya sedangkan lafazhnya masih ada dalam mushaf. Sebagian berpendapat tidak ada, yaitu : Abu Muslim al-Ashfani, Fakhruddin ar Razi, Muhammad Abduh, dll. Kelompok yang menolak adanya nasakh hukum, mereka menta’wilkan kata “ayat” dalam QS Al-baqarah : 106 dengan “mukjizat” jadi yang di nasakh adalah mukjizat bukan ayat Al-Qur’an.

Adapun kelompok yang menetapkan adanya nasakh, menafsirkan kata “ayat” dengan zahirnya, diantaranya Imam Syafi’i, Imam Syaukani dan As-Suyuthi. Mengenai ayat-ayat yang dinasakh, kelompok yang menetapkan adanya nasakh juga berbeda pendapat. As-Suyuthi menyebutkan ada 21 ayat Al-Qur’an yang dinasakh.

Pembagian Naskh
1. Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Semua ulama sepakat kebolehannya, bagi yang menetapkan adanya naskh
2. Naskh Al-Qur’an dengan hadits
a. Naskh Al-Qur’an dengan hadits mutawatir.
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad membolehkannya.
b. Naskh Al- dengan hadits Qur’an ahad.
Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan jumhur ulama tidak membolehkan, berdasarkan ayat “Apa saja yang kami nasakh kan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya” (QS Al-Baqarah [2] : 106).
3. Naskh hadits dengan Al-Qur’an
Jumhur ulama sepakat membolehkan, contoh Arah kiblat ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunah dinasakh oleh ayat Al-Qur’an, QS Al-Baqarah [2] : 144 : “Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”
4. Naskh hadits dengan hadits
a. Naskh hadits mutawatir dengan hadits mutawatir
b. Naskh hadits ahad dengan hadits ahad
c. Naskh hadits ahad dengan hadits mutawatir
d. Naskh hadits mutawatir dengan hadits ahad
Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang bentuk ke-empat diperselisihkan.
5. Naskh berpengganti dan tidak berpengganti
a. Nasakh tanpa pengganti, contoh :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu” (QS Al-Mujadalah [58] : 12).
Ketentuan ini dinasakh oleh ayat :
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul ? Maka jika kamu tidak memperbuatnya – dan Allah telah memberi taubat kepadamu – maka dirikanlah shalat, tunaikan zakat”. (QS Al-Mujadalah [58] : 13).
b. Nasakh dengan badal akhtaff, misalnya firman Allah :
“Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu … “ (QS Al-Baqarah [2] : 187).
Ayat ini menghapus firman Allah :
“…sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu …” (QS Al-Baqarah [2] : 183).
Karena maksud ayat QS Al-Baqarah [2] : 183 adalah agar puasa kita seperti ketentuan puasa orang-orang terdahulu, yaitu dilarang bercampur dengan istri apabila mereka telah mengerjakan shalat petang atau telah tidur.
c. Nasakh dengan badal mumasil, misalnya penghapusan arah Kiblat ke Baitul Makdis menjadi menghadap ke Masjidil Haram.
“Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram..” (QS Al-Baqarah [2] : 144).
d. Nasakh dengan badal asqal, seperi penghapusan hukuman penahanan rumah, dalam ayat :
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, datangkanlah empat orang saksi dari pihak kamu (untuk menjadi saksi). Kemudian apabila mereka telah memberi kesaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai meninggal…” (QS An-Nisa’ [4] : 15).
Ayat tersebut dinasakh dengan ayat tentang hukuman rajam bagi pezina muhson (sudah pernah menikah) atau dera seratus kali bagi pezina yang belum pernah menikah.

Contoh-contoh naskh.
As-Suyuthi menyebutkan dalam Al-Itqan sebanyak dua puluh satu ayat, diantaranya :
1. QS Al-Baqarah [2] : 144 : Maka palingkanlah mukamu kearah Masjidil Haram
Ayat ini menasakh arah kiblat ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.
2. QS Al-Baqarah [2] : 180 :Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya …
Kewajiban berwasiat dalam ayat ini dinasakh oleh ayat tentang hukum waris dan diperkuat oleh hadits. “Sesungghuhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan warisnya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris”
3. QS Al-Baqarah [2] : 284 : Jika kamu melahirkan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.”.
Ayat ini meng isyaratkan Allah akan membuat perhitungan terhadap perbuatan dan lintasan hati manusia. Namun pertanggungjawaban lintasan hati ini dinasakh oleh QS Al-Baqarah [2] : 286 Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.
4. QS Al-Anfal [8] : 65 : “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh…”
Ayat ini melarang kaum muslimin mundur dari peperangan bila jumlah musuh kurang dari sepuluh kali lipat, namun ayat ini di nasakh dengan QS Al-Anfal [8] : 66 :
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang”. Ayat ini membolehkan kaum muslimin mundur dari peperangan bila jumlah musuh lebih dari dua kali lipat.

Namun kelompok yang tidak mengakui adanya nask hukum dalam mushaf Al-Qur’an tetap memberikan argumentasi bahwa ayat-ayat tersebut bukan nasakh, melainkan hanya mentahsis atau bisa dikompromikan atau berlaku menurut masa tertentu atau punya sebab berbeda sehingga hukumnya berbeda.

Hikmah adanya Nasakh :
1. Memelihara kepentingan kaum muslimin.
2. Perkembangan tasyri menuju tingkat kesempurnaan sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi mukallaf, yaitu apakah mengikuti (mempelajarinya) ataukah tidak.
4. Menghendaki kebaikan bagi umat. Jika nasakh beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke yang lebih ringan maka mengandung kemudahan dan keringanan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar